aku, rasanya.



seseorang memintaku untuk mendeskripsikan sebuah ruang mungil, dengan beberapa warna yang ku pikirkan, dan ‘rasa’ di dalamnya.
aku tidak menjawab, aku hanya memejamkan mata.
perlahan,
sangat pelan.

aku menikmati setiap gesekan waktu berjalan pelan di kulit tipisku. aku menghirup embun lebih jauh dari sebelumnya. aku mendengar setiap pola kata yang tidak keluar dari mulut pucat pasi.
dan aku, melihat jauh ke penjuru merah pekat itu, rasanya aku sudah sampai.
aku, sampai. 
aku bernafas dengan irama, di mulai dengan hening, menuju gempa.
seperti tangga nada,
seperti menghitung sampai sejuta,
seperti berbicara empat belas kalimat dalam satu helai udara,
seperti berniat mati dengan cepat.
aku sampai, 
aku bernafas. 
aku  coba membuka satu mata, dengan kuat ku paksa setiap syaraf bekerja. gagal terjadi, namun tetap saja ku memaksa. hingga lelah. hingga sakit. hingga berdarah.
aku sampai,
aku bernafas,
aku tetap terpejam.
benar saja,
aku bobrok. terpuruk. sama seperti kura-kura dengan tempurung terbalik. sama seperti salmon terpisah dari rombongannya. aku sangat tahu.
kali ini lebih menyita tenaga, kali ini terjerumus lebih dalam. aku dengan merah secara menyeluruh, mengajak diriku sendiri untuk berputar, tanpa tanda, tanpa rasa iba. 
benar saja,
aku berputar sampai jatuh lalu menarik kembali untuk berputar lagi.
rasanya, aku merasa, sebuah rasa, terwujud dengan pekat. lalu menghitam secara tebal, dan menarik diri lebih kencang, sampai menyerah.
aku menarik udara, dan hampa.

apa ini rasanya mati?

berbicara pun tidak mampu, apalagi menangis.
jadi, ku merintih lirih dengan kuat pada senja merah, yang tidak seperti indah. dan berlari dengan topangan kuda lemah. dan bernafas dengan perih di tiap kedip mata. dan hidup seperti luka, di setiap duka. 
aku, sudah sampai titik helai nafas beratku tanpa dapat ku melihat warna, seperti mati.

Komentar