Postingan

si Sipir Jahat. (Cerpen)

Apa yang paling sulit dari (menjadi) seorang kakak? Namaku Wela dan hari ini aku menjadi seorang Kakak yang menyesal. aku ikuti semua nafsuku, aku biarkan suaraku melantang bebas dengan wajah menantang. bukan lagi jari tengah, aku sendiri tidak bisa membayangkan betapa buruknya rupaku tadi.  Setiap hari Yaya membantu separuh pekerjaan rumah dengan separuh hati, aku yang memaksanya. benar, gambarkanlah aku sebagai Sipir Jahat yang memaksa para Napi bergerak. adik-adikku ikut melakukan berbagai hal yang aku minta, seperti mengambil pakaian kotor mereka masing-masing, mandi tepat waktunya dan segala kegiatan yang anak kecil malas lakukan dan para Ibu mengeluh soal itu.  Aku pernah membayangkan kostum pahlawan yang aku gunakan dimata Ibuku, mungkin warna abu-abu? apakah aku menggunakan rok mini? pakaian ketat dengan sebuah jubah? Tapi aku yakin, aku si Sipir Jahat di mata Yaya hari ini. aku mendorong tubuh Yaya. hatiku seperti dicubit dengan besi panas, bukan soal tubu

...10 tahun lalu. (cerpen)

Aku banyak mendengar hal-hal aneh mengenai pernikahan. Di mulai sejak aku duduk di sekolah dasar, sekitar 10 tahun lalu. Ketika itu aku pulang sekolah, menggunakan seragam merah putih yang tidak serapi pagi hari ketika hendak berangkat. Selalu ada senyum ketika aku ingat memori semacam itu, mulai dari berlari hingga diomeli. Aku biasa di katakan nakal untuk anak perempuan yang seharusnya menyapu lantai. Benar saja, aku mulai merasa orang di depanku memandangi aku dengan tatapan aneh, mungkin karena senyumku terlalu lebar untuk perjalanan menggunakan kereta api pada malam hari. Kulontarkan senyum dan sedikit anggukan malu, tujuannya untuk meminta maaf karna mengganggu. Bukannya malas untuk membuka obrolan, tapi sepertinya memang tidak ada hal menarik sedikitpun untuk di bicarakan, atau mungkin, aku dan pemuda yang duduk di hadapanku sejak 4 jam yang lalu ini adalah tipe yang sama; tidak bertele-tele.             Aku suka menggunakan alat transportasi darat ini, kereta. Entah pe

... 10 tahun lalu (sipnosis)

Junia mengantarku dengan gugup, hal itu terlihat jelas dari berbagai kalimat yang ia lontarkan sejak kami berangkat. Aku tidak bereaksi sedikitpun, karena menurutku tidak ada yang bisa ku perlihatkan dari emosionalku. Ayahku pernah berkata, bahwa tidak baik bila seseorang terlalu memperlihatkan kondisi emosinya, bahkan bahagia sekalipun. Dan ayahku benar, ayah selalu benar. “kalau sudah sampai jakarta, kabari aku loh, ndok” ucap junia dengan lembut, seperti biasa. Aneh, rasanya. Karena aku melakukan perjalanan tanpa junia, ini pertamakali terjadi sejak 10 tahun lalu. Dan terasa semakin aneh, ketika aku mulai ingat ayah, juga pernikahannya.

aku, rasanya.

seseorang memintaku untuk mendeskripsikan sebuah ruang mungil, dengan beberapa warna yang ku pikirkan, dan ‘rasa’ di dalamnya. aku tidak menjawab, aku hanya memejamkan mata. perlahan, sangat pelan. aku menikmati setiap gesekan waktu berjalan pelan di kulit tipisku. aku menghirup embun lebih jauh dari sebelumnya. aku mendengar setiap pola kata yang tidak keluar dari mulut pucat pasi. dan aku, melihat jauh ke penjuru merah pekat itu, rasanya aku sudah sampai. aku, sampai.   aku bernafas dengan irama, di mulai dengan hening, menuju gempa. seperti tangga nada, seperti menghitung sampai sejuta, seperti berbicara empat belas kalimat dalam satu helai udara, seperti berniat mati dengan cepat. aku sampai,  aku bernafas.   aku   coba membuka satu mata, dengan kuat ku paksa setiap syaraf bekerja. gagal terjadi, namun tetap saja ku memaksa. hingga lelah. hingga sakit. hingga berdarah. aku sampai, aku bernafas, aku tetap terpejam. benar saja, aku b