si Sipir Jahat. (Cerpen)
Apa yang paling sulit
dari (menjadi) seorang kakak?
Namaku Wela dan hari ini
aku menjadi seorang Kakak yang menyesal.
aku ikuti semua nafsuku,
aku biarkan suaraku melantang bebas dengan wajah menantang. bukan lagi jari
tengah, aku sendiri tidak bisa membayangkan betapa buruknya rupaku tadi.
Setiap hari Yaya membantu
separuh pekerjaan rumah dengan separuh hati, aku yang memaksanya. benar,
gambarkanlah aku sebagai Sipir Jahat yang memaksa para Napi bergerak.
adik-adikku ikut melakukan berbagai hal yang aku minta, seperti mengambil
pakaian kotor mereka masing-masing, mandi tepat waktunya dan segala kegiatan
yang anak kecil malas lakukan dan para Ibu mengeluh soal itu.
Aku pernah membayangkan
kostum pahlawan yang aku gunakan dimata Ibuku, mungkin warna abu-abu? apakah
aku menggunakan rok mini? pakaian ketat dengan sebuah jubah?
Tapi aku yakin, aku si
Sipir Jahat di mata Yaya hari ini.
aku mendorong tubuh Yaya.
hatiku seperti dicubit dengan besi panas, bukan soal tubuh Yaya, tapi
mentalnya. aku meneriaki Yaya, aku menarik tangannya. Yaya mungkin bukan anak
Sekolah Dasar yang lucu, Yaya melawanku dengan rautnya yang semakin membakar
amarahku. jelas, aku makin naik pada puncaknya, tapi pada saat yang sama aku
hampir memohon pada Yaya untuk berhenti.
jangan melakukan apapun.
jangan melawan.
jangan mengangkat wajah.
jangan bicara.
jangan menangis.
jangan pernah menangis.
Sedikit dari dalam diriku
seperti teriak, menangis terisak.
Aku belum pernah meneguk
alkohol, tapi aku seperti orang mabuk yang ada di film. aku yakin, aku sangat
buruk sebagai Kakak. Biasanya mandi berhasil untuk mendinginkan diriku, tapi
ternyata tidak. kuambil sepeda dan membiarkan angin malam menurunkan tensi
tinggi amarahku, tapi belum cukup. aku perlu sebuah tempat, aku berhenti di
sini. sebuah cafe berbentuk cube dan meja yang tepat untuk melihat ke bawah.
sangat cocok, untuk aku yang baru saja merusak banyak saraf di otak adikku.
Aku hampir gila beberapa
tahun belakangan ini. Ibuku menangis sambil tersenyum, Ibu seringkali menahan
amarahnya dan melepaskan pada dirinya sendiri. Ibu melalui banyak hal saat aku
bersama teman-teman, dan ketika pulang aku mendapati Ibu di meja makan, dengan
lilin di hadapannya. aku berjalan mundur ke kamarku, menguncinya. Kasurku yang
cukup untuk ditiduri tiga orang ini selalu rapih, selalu ku pastikan selimut
ada disana, tapi kali ini tidak ada. Aku raih handuk di belakang pintu kamar,
ku taruh kunci pintu belakang rumahku, tas, juga segala benda yang melekat di
tubuhku. Aku harus mandi, pikirku.
Waktu itu aku berumur 19
tahun, dan aku sering bertanya sendiri, "kalau aku seorang adik, aku ingin
sosok Kakak yang seperti apa?"
jadi aku merumuskan semua
sikap dan sifat yang harus ku bentuk, aku harus menjadi Sosok untuk adikku.
lalu keadaannya semakin sulit, ini tentang Karakter Ibu di benak adikku dan
pilihan hidup kami. jadi, suatu malam saat Ibu mengetuk pintu kamarku untuk
menginap disana, kami tidur saling membelakangi dan Ibu mulai menangis. aku
putuskan untuk membantu. aku bunuh karakterku sendiri dihadapan adikku, aku
lukai diriku dan memutuskan banyak peraturan untuk adikku, karena aku juga sudah
cukup menangis malam itu.
Aikal adalah laki-laki
kedua di rumah ini, sebelum Ibu sering memandangi lilin di meja makan pada malam
hari. Aku memang egois, mendatangi Aikal tengah malam dan memaksanya berjanji
untuk menjaga kedua adiknya beberapa hari lalu. Aikal bilang, “Kakak pernah
kepikiran gak, aku lebih ingin kabur ketimbang Kakak?”
Dan Kakak mana yang tidak
tertampar saat adik laki-laki lima belas tahunnya bertanya seperti itu?
Paginya, aku pastikan Aikal membawa bekal dan pulang tepat waktu. Benar, aku
takut setengah mati Aikal pergi meninggalkan rumah, bahkan untuk tinggal
bersama Ayah. Aku dan ketiga adikku tidak paham persis apa yang Ayah pernah
lakukan atau Ibu katakan, aku berusaha pastikan kepada mereka bahwa masalah
tersebut tidak diciptakan untuk kami pikirkan, atau setidaknya tidak untuk
ketiga adikku pikirkan. Bukankah anak pertama diciptakan untuk lebih memahami
dan menjaga adiknya?
Aku sedang merapihkan
beberapa barang di kamarku, memberikan sedikit ruang untuk Yaya, dia harus
terbiasa untuk tidur terpisah dengan Ibu, tidak, aku yang harus membiasakan
diri berbagi. Ibu sering berbagi dengan ku dan adik-adik, keuangan kami menurun
dan tubuh Ibu semakin kurus. Aku tidak bisa membuat Dayi berhenti meminum susu,
bahkan dia tidak merasakan susu formula yang sama dengan tiga kakaknya. Aku
harus menghasilkan uang, aku harus lebih berbagi. Kuputuskan untuk mendatangi
berbagai toko dengan berkas-berkas di tasku, aku berpakaian rapih dan wangi
tapi masih belum cukup untuk melamar pekerjaan di perusahaan besar. Mereka
bilang, “Maaf, saudari belum memenuhi syarat pendidikan” sambil melihat ku
dengan teliti. Aku mendatangi perpustakaan kota untuk istirahat, disana sangat
nyaman dan tenang. aku duduk dekat jendela di lantai 4, kota terasa menenangkan
dari sudut seperti ini. Sejak saat itu, aku sering mendatangi perpustakaan dan
bekerja di sana. Tapi uang yang kuhasilkan ternyata tidak cukup untuk Aikal
yang mulai mengerti pergaulan, jadi aku menawarkan diri untuk membantu berbagai
pekerjaan kantor tetanggaku.
Teman-temanku sering
mengunjungiku, awalnya aku tidak yakin menjatuhkan harga diriku dan menawarkan
mereka kemampuan sebagai Joki tugas kuliah, tapi kebutuhan adik-adikku tidak
terpenuhi dengan harga diriku yang melambung tinggi, jadi aku menyerah saja
menjadi langit. Orang bilang, manusia terbuat dari tanah dan kembali ke tanah,
jadi tidak ada gunanya bersikap langit, aku mulai gunakan itu untuk hidup dan
membawa pulang beberapa lembar uang.
Tapi malam ini Ayah
datang lagi, Ibu mulai mengunci pintu kamarnya bersama Dayi. Aku belum pernah
menyapa hangat Ayahku seperti yang Yaya lakukan, Ayah pun tidak pernah seramah
dulu. Aku tidak lagi manja, aku tidak lagi merasa butuh Ayah. aku seperti mati
rasa, bahkan seluruh otot wajahku mendadak mati melihat Ayah, aku tidak
tersenyum. Yaya berusaha membuka pintu kamar kami, aku tidak membiarkannya
berhasil karena kamar terasa nyaman jika sendirian belakangan ini. Aku
membesarkan volume earphone dan percaya bahwa Yaya akan baik-baik saja dengan
Ayahnya di ruang keluarga. Tapi ternyata tidak, Yaya membuat moodku semakin turun
untuk melakukan tugas kuliah temanku, dia hampir mendobrak pintu kamar dengan
segala kalimat yang tidak aku ajarkan. Mungkin aku marah, benar-benar marah
pada Yaya, pada tugas kuliah temanku, pada pekerjaanku yang lain. Atau marahku
yang kupendam dalam pada naskah hidup yang ku buat saat Ayah tidak lagi
bertanggung jawab. Dan mungkin, marahku berlebihan.
Aku berteriak pada Yaya
malam ini, aku tidak lagi merasa bisa bertahan dengan dinding kuat di dasar
diriku. Aku menghancurkannya sendiri, aku merusaknya.
aku benar-benar
menderita, si Sipir Jahat ini sedang menangis dan tidak pernah pulang setelah
itu.
July, 13 2017.
Komentar
Posting Komentar