...10 tahun lalu. (cerpen)




Aku banyak mendengar hal-hal aneh mengenai pernikahan. Di mulai sejak aku duduk di sekolah dasar, sekitar 10 tahun lalu. Ketika itu aku pulang sekolah, menggunakan seragam merah putih yang tidak serapi pagi hari ketika hendak berangkat. Selalu ada senyum ketika aku ingat memori semacam itu, mulai dari berlari hingga diomeli. Aku biasa di katakan nakal untuk anak perempuan yang seharusnya menyapu lantai. Benar saja, aku mulai merasa orang di depanku memandangi aku dengan tatapan aneh, mungkin karena senyumku terlalu lebar untuk perjalanan menggunakan kereta api pada malam hari. Kulontarkan senyum dan sedikit anggukan malu, tujuannya untuk meminta maaf karna mengganggu. Bukannya malas untuk membuka obrolan, tapi sepertinya memang tidak ada hal menarik sedikitpun untuk di bicarakan, atau mungkin, aku dan pemuda yang duduk di hadapanku sejak 4 jam yang lalu ini adalah tipe yang sama; tidak bertele-tele.

            Aku suka menggunakan alat transportasi darat ini, kereta. Entah perjalanan pagi hari ataupun malam hari, menurutku kereta adalah pilihan yang tepat. Ayahku pun berpendapat sama, ayah bilang, “Kereta bisa membuatmu melihat pemandangan yang tak kamu tahu, membuatmu melewati berbagai daerah, juga bertemu banyak orang” . Ayah adalah lelaki pertama, dan mungkin terakhir yang membuatku merasa aman. ‘Ah, ini lagu ayah’, ucapku dalam hati sembari melirik playlist di smartphone yang kugenggam sejak berangkat dari stasiun Malang.

            Orang-orang cukup sibuk membenahi barang bawaannya ketika turun di stasiun tujuan masing-masing, tapi tidak denganku yang hanya membawa satu tas carier  besar berwarna hijau tosca dengan abu-abu yang mendominasi. Aku berjalan keluar stasiun Senen dan mencari bus arah Kota Tangerang, dan memilih duduk di tempat paling strategis, dekat pintu keluar, di sebelah ibu paruh baya yang kelihatan sangat lemah. Aku jadi teringat seorang ibu yang berbicara padaku menggunakan Bahasa Jawa di stasiun Cirebon, ia mengucapkan satu kalimat, seperti ‘jangan berpikir terlalu keras, mbak. Hati-hati terganggu jiwanya’ , aku membalas sesopan mungkin, dengan Bahasa Jawa yang serupa, mengucapkan terimakasih dan tersenyum lembut.

            Aku disambut oleh seorang perempuan, terlihat cantik dengan dress hitam yang menutupi tubuhnya hingga lutut. Ia memaksaku untuk balas dekapannya, lalu membisikan, “Aku gak akan membiarkanmu sakit lagi, Sha” dan hal itu terasa sangat aneh untukku. ‘bagian mana dari tubuhku yang sakit?’ pikirku. Kemudian ia menyelipkan jemari lembutnya di sela-sela jemari tangan kiriku, dan menarikku untuk ikuti langkahnya. Aku tertunduk, memandangi kulitnya yang jauh berbeda dengan milikku, dan setengah mati dibuat kaget karena hal ini, ’baru 10 tahun, aku tidak siap’ kataku gagap dalam hati.

            Aku cukup handal dalam mengamati sesuatu, dulu, aku dan ayah seolah dektetif  hebat yang memiliki kasus di setiap harinya. Kami akan sangat serius di ruang keluarga, berdua, hanya aku dan ayah. Sampai akhirnya, kebiasaan itu membuatku terbiasa menelaah lebih jauh mengenai segalanya, sekecil apapun itu. Seperti sekarang, aku berani bertaruh, bahwa meja makan ini tidak di sediakan untuk 3 orang, juga makanan ini terlalu berlebihan untuk sekedar menyambutku.

            “Kok tidak dimakan cuminya, Sha?” tanya seorang wanita yang duduk di sudut meja sebelah kiriku, dan ku rasa, wajahnya masih terlalu segar untuk seusianya. Mungkin ia ingin memecahkan suasana kaku yang tercipta sejak kedatanganku, karena aku hanya diam, dan mengangguk, juga sesekali menggeleng. Ya, aku terbiasa menggunakan komunikasi non-verbal, sejak 10tahun lalu. Tanpa perlu aku mengangkat kepalaku sedikit ke atas, aku bisa pastikan bahwa bola mata mereka-orang-orang-yang-sekarang-memenuhi-meja-makan-ini tertuju padaku, “Tidak sopan. Orangtua sedang bicara tapi tak dijawab”, ucap seorang wanita yang lebih tua di antara mereka. Aku tetap diam, masih menikmati nasi dengan sop daging di hadapanku dan  mengakhiri makanku lalu masuk ke dalam kamar yang disiapkan untukku.

            Ketukan pintu kamar ini berbunyi sebanyak 5 kali. “Sha, ini Kian. Aku masuk ya”, ucapnya di ketukan ke 3, lalu ia menambahkan 2 ketukan lagi sebelum membuka pintu. Aku memang terbiasa menghitung ketukan pintu, sejak 10 tahun lalu. Kutebak, ia ingin mengajakku keluar kamar dan menyapa seorang lelaki di ruang tamu, ‘laki-laki lain, selain ayah’ ucapku tak percaya dalam hati. Benar saja, namanya Dito. Berbeda 5 tahun dengan kakakku, Kianu, perempuan dengan dress hitam. ‘yakin ayah merestui kamu menikah di usia 23tahun?’ tanyaku ragu dalam hati ketika Dito mencoba ramah padaku, adik dari Kianu, perempuan pujaannya.

            Malam ini, adalah tepat 7 hari aku berada diantara aktivitas mereka bedua, Indayati, ibuku dan Kianu, kakaku. Aneh rasanya, karena akhirnya aku dapat mencium bau khas keluarga kandungku sendiri, setelah 10 tahun lamanya aku terbiasa dengan bentuk wajah Junia, seorang wanita paruh baya di Malang. Junia bilang, aku harus menuliskan apapun yang ada di otakku ke dalam note pemberiannya, yang selalu ia ganti ketika lembarnya sudah terisi penuh.

“Sha, kamu lebih suka warna hijau, atau merah?” tanya Kianu, kakakku.
Aku tetap diam, seperti hari-hari kemarin, seperti pertamakali aku sampai di Kota kelahiranku sendiri. Garis wajah cantik kianu memperlihatkan jelas rasa lelahnya terhadapku, ‘lagipula aku tau kamu tidak setulus itu’ yakinku dalam hati. Juga Dito, yang sedari tadi menanyaiku pertanyaan sampah, seperti “Di Malang ada apa aja, Sha?” 
Mereka hendak menikah 1 bulan lagi. Ibuku, berusaha keras untuk pernikahan anak kebanggaannya ini, sampai harus repot menahan kesal terhadap kehadiranku. Aku tidak pernah ingin mempermasalahkan, karena sudahku catat dinote. Yang ingin kutanyakan adalah, ‘akan seperti apa jadinya pernikahan bila laki-lakinya bukan ayah?’

            Aku rasa, seseorang masuk ke dalam kamar. Dan siapa lagi kalau bukan Kianu, kakakku?
“..S..Sha..” suaranya tidak terdengar jelas, isak tangisnya mengganggu artikulasi kalimat yang Kianu ucapkan ketika aku masuk ke dalam kamar. Aku diam, seperti biasa. Ia terlihat lemas, duduk terkapar di lantai dengan note dari Junia, milikku. Aku cukup terkejut, karena baru pertama kalinya seseorang, selain Junia, melihat noteku. 

“Aku gak makan seafood, dari kecil. Dan aku suka warna hitam, sejak 10 tahun lalu” kalimat itu seperti mengalir begitu saja dari mulutku. Kianu semakin histeris dalam tangisannya. Lalu aku memilih untuk duduk di atas ranjang, dan membiarkan kakaku tenggelam dalam tangisan tidak berguna itu. Sepertinya benar apa yang di katakan orang-orang, bahwa ibu punya feeling kuat ketika terjadi sesuatu pada anaknya, tapi dalam hal ini, feeling ibu hanya terhadap Kianu. Ya, ibu lari kecil untuk membangunkan Kianu, di bawah kakiku. Ibu tak kalah histeris dari Kianu. Entah, aku tidak bisa memastikan percakapan mereka, kalimat yang mereka lontarkan seperti bahasa alien untukku. Sepertinya, aku mendengar kata maaf berjuta kali dari mulut Kianu. Sekarang, ia dan ibu seperti hendak merobek bajuku, menggoyang-goyangkan tubuhku dan memelukku erat secara bersamaan. “Selama 10 tahun, apa kalian menangis seheboh ini?” tanyaku tanpa nada. Mereka makin histeris.
“Rasanya aneh, seolah,  tak ada lagi darah ibu atau kakak yang mengalir di tubuhku” tambahku.
Benar, mereka makin menjadi-jadi, “Kenapa harus 10 tahun?” timbalku lagi. Aku pasti terdengar seperti monster, tanpa hati. 

Aku memutuskan untuk menarik nafas panjang, dan menghembuskan perlahan. Memejamkan mata dan melepaskan pelukan mereka. Aku berdiri, memilih posisi yang di rasa cukup terlihat oleh mereka secara keseluruhan. Mereka memberikan pembelaan, “Kamu mengalami trauma yang berat, Sha” . Trauma, katanya.
 Ayah pernah mengajakku berkendara pada malam hari, entah apa yang terjadi, kendaraan kami jatuh ke sungai, dan aku sempat tenggelam. Jadilah sampai saat ini, aku tidak pernah berani melihat air yang dalam, aku tidak suka naik kapal. ‘trauma yang itu?’ pikirku.
Ibu membawa sebuah box berwarna coklat yang telah pudar. Aku sering melihat box semacam ini, seperti box penyimpanan kasus. Anehnya, aku merasa ada gesekan hangat ketika tangan kanannya meraih tangan kananku.
“I..Ibu..itu...” ucap Kianu terbata-bata ketika melihat isi dari kotak tersebut. Aku tersentak, “Kenapa note-note itu ada di sini?” tanyaku tak percaya.

            Aku tidak pernah berharap air mataku mengalir untuk siapapun, kecuali ayah. Dan harapanku terkabul, aku hanya menangis karna ayah. Karena akhirnya, ibu menceritakan semua yang terjadi pada 10 tahun lalu dalam versi lain, bukan dari sudut pandang yang ku yakini. Trauma berat yang ku alami, di mulai sejak hari itu, ketika aku pulang sekolah. Beberapa hari sebelumnya, ayah dianggap mengecewakan perusahaan tempatnya bekerja, dan hal itu menjadi beban berat untuk ayah, hingga pada malam dimana ayah mengajakku berkendara, ternyata ia sedang melakukan percobaan bunuh diri, dan ia mengajakku untuk ikut bersamanya. Ibu bilang, ayah mengalami banyak perubahan yang buruk, termasuk psikisnya. Beberapa kali ibu memergoki ayah sedang melakukan kejahatan seksual terhadap Kianu, kakaku. Ibu takut ayah melakukan hal yang sama padaku, atau bahkan yang lebih buruk, karena itu ia memindahkanku ke Malang, ke sebuah rumah rehabilitas kenalannya.
“Tidak masuk akal!” teriakku, aku menangis lebih parah dari Kianu.
“Junia minta kamu menulis, agar dapat terlihat apa yang salah dengan dirimu, Sha.” ucap ibu lemas. Ia semakin lemas ketika menceritakan apa yang di simpulkan oleh Junia, dokter psikisku. Semua hal ini membuatku muak. Mungkin karena tidak terima bahwa ayahku tidak sepahlwan itu, dan aku mulai bertanya, ‘apakah aku seperti ini, karena memang ayah melakukan hal buruk padaku?’

Tangisku semakin keras, aku berteriak tak terkendali. ibu dan kakak berusaha memegangi tanganku agar tidak menarik rambutku lebih kuat dari ini, dan berusaha memeluku yang semakin kuat mengamuk. Yang kuingat, ibu sempat memanggil namaku berkali-kali. Lalu, semuanya seperti berputar di kepalaku, dan ‘apakah memang, aku terlalu sakit?’.


Hindia timur, 22 9 15.

Komentar

Posting Komentar